Ibadah haji adalah upacara keagamaan masa lalu, yang dilaksanakan di Arabiyah jauh sebelum Islam. Namun, pada masa jahiliyah, haji adalah ritual ekonomi dan bisnis dengan menghapus symbol-simbol agama tertentu yang penting. Pelemparan batu atau jumrah, lari-lari kecil mengelilingi Ka’bah, lari-lari kecil diantara bukit shofa dan marwah, dan bahkan pengorbanan binatang, semuanya adalah tradisi sebelum Islam. Tetapi semua hal ini telah menjadi tradisi, bukan ibadah. Kesemuaannya hanya secara suram mengenang arti penting Islam yang sesungguhnya. Hanya ketika nabi Muhammad SAW menegakkan kembali hubungan ibadah haji dengan Islam, maka ibadah haji tersebut mendapatkan arti penting religiusnya.
Sebelum tampilnya Muhammad dan selama kegiatan-kegiatannya sampai ia menaklukkan kota kelahirannya, haji menduduki tempat penting dalam kehidupan orang-orang Makkah dan semua suku Arab yang mempunyai suatu hubungan dengan mereka. Dalam hal itu perdagangan lebih menonjol dari pada kebutuhan akan keagamaan. Suku-suku Badui tidak melakukan perjalanan berhari-hari untuk menyelenggarakan pertemuan keagamaan atau mencongklang mengelilingi Ka’bah. Kebutuhan keagamaan mereka cepat terpenuhi dan upacara-upacara. Makkah itu tidak mempunyai sesuatu yang dapat membangkitkan gerak hati itu kecuali, batu sesajen, makanan cuma-cuma dari daging unta dan daging sapi. Perjanjian-perjanjian dibuat, pesta-pesta dirayakan, mungkin juga banyak dosa telah ditebus dengan korban yang dimakan oleh tamu-tamu yang diundang atau oleh orang-orang Makkah yang miskin dan peziarah-peziarah.[1]
Melalui haji dan semua ritualnya, jama’ah haji menegaskan dua hal yang sangat penting. Pertama, mereka memperbaharui perjanjian mereka dengan Allah melalui talbiyah, jawaban atas panggilan Allah sebagai mana mereka semua menangis dalam satu suara, “labbayka Allahumma labbayk, labbayka la syarika laka labbayk.” Mereka juga menghubungkan peristiwa sejarah saat ini dengan sejarah masa nabi, karena melalui haji kita menapaki pengalaman bapak kita, Ibrahim a.s. Setiap aktivitas haji melambangkan aktivitas Nabi Ibrahim. Pengorbanan putranya dilambangkan dengan pengorbanan hewan pada akhir rangkaian haji. Keraguan dan ketidakpastiannya dilambangkan dengan melempar kerikil, sebagai mana ia mengusir setan dan bisikan keraguannya atas ketaatan kepada perintah Allah untuk mengorbankan putranya.
Penderitaan yang ditemui Nabi Ismail dan ibunya Hajar, dilambangkan dengan berlari-lari diantara dua bukit Shafa dan Marwah. Menurut Al-Qur’an, ketika Ibrahim a.s meninggalkan keluarganya di keheningan ka’bah ia berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan keturunanku di satu lembah yang gersang di sisi rumah-Mu yang suci. Tuhan kami, agar mereka rezeki berupa buah-buahan agar mereka bersyukur” (14:37). Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa Hajar kemudian berlari mencari air. Dengan panik ia berlari di antara dua bukit untuk mencari air, sementara putranya lemas kehausan. Kemudian Allah memunculkan sumur zam-zam yang memancar, dan keduanya, sang ibu dan anaknya itu selamat.[2]
Ø Sejarah Thowaf
Nabi Ibrahim dan nabi-nabi yang lebih tua telah melakukan perbuatan bereliling Ka’bah. Bahkan nabi Adam pun sudah melakukan upacara itu.Sedangkan alasan-alasan yang menyebabkan dibangunnya Ka’bah oleh Adam menurut kisah-kisah Ibn Abbas dan Wahb Munabbih isi pokokoknya ialah, bahwa Tuhan merasa kasihan terhadap dia karena kesepiannya dan untuk menghiburnya maka Allah memerintahkan membuat rumah (Ka’bah). Kalau kita lebih lanjut bertanya tentang alaan Adam mengelilingi rumah (Ka’bah) itu, maka para pembuat kisah menunujuk pada para Malaikat yang mengelilingi tahta Tuhan dengan cara yang sama. Adapun pra Malaikat tidak perlu memberi penjelasan kepada kita tentang arti upacara-upacara mereka.[3]
Sadarilah bahwa tujuan melempar jumrah semata-mata karena taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya serta hendaknya kita merasionalisasikannya. Kemudian, sadari pula bahwa tujuan dari pelemparan jumrah semata-mata karena meniru apa yang dilakukan Nabi Ibrahim a.s. saat itu iblis menghadangnya di tempat-tempat yang sekarang dijadikan tempat melempar jumrah. Sehingga dengan melempar jumrah ini pelaksanaan haji kita menyerupai dengan pelaksanaan haji Nabi Ibrahim a.s. Atau menyerupai sikapnya yang selalu patuh menjalankan perintah Allah dimana beliau ketika dihadang oleh iblis disuruhnya agar iblis dilempar dengan batu agar dia menjauh dan agar ambisinya dapat dienyahkan. Oleh karena itu lakukanlah melempar jumrah seolah-olah syetan telah melakukan indakan yang sama kepada kita seperti yang dilakukan iblis kepada Nabi Ibrahim.[4] (lebih…)